"Death Love"
Cuaca di luar sangat buruk, hujan tak berhenti
semenjak pagi tadi, diikuti oleh terpaan angin yang membuat daun-daun
berguguran. Kini matahari hampir terbenam, aku memandangi jalan dari jendela kamarku
yang menghadap ke arah hutan yang lebat. Aku merasa sedikit takut tapi ini
menyenangkan melihat semua terasa sunyi namun suara-suara hujan memainkan
alunan musik di telingaku.
Sebuah ketukan di pintu merusak khayalanku, aku pun bangkit
dan membuka pintu kamarku, tepat dihadapanku berdiri Charmen, gadis berumur 20 tahun
yang memiliki rambut hitam panjang dan lebat. Dia sudah 5 tahun mendampingiku,
walaupun usiaku lebih tua 4 tahun darinya, namun sikapnya yang dewasa selalu
bisa membuatku menuruti keinginannya. Dia pembantu sekaligus sahabat yang
paling mengerti aku.
“Nona Amora, apakah anda mau disiapkan air hangat
untuk mandi?” aku tak bisa menghentikan memanggilku nona, dia bersikeras akan
tetap memanggilku walaupun aku sudah menganggapnya orang terdekatku.
“Ya, aku merasa agak sedikit kedinginan,”
“Baiklah setelah anda mandi, makan malam sudah
tersedia,”
“Hmm..” aku mengangguk, ia lalu berbalik dan sebelum
ia berjalan aku kembali memanggilnya.
“Charmen…”
“Ada apa nona?” ia berbalik menghadapku.
Aku tiba-tiba memeluknya, bertahan disana selama lebih
dari 1 menit.
“Charmen, apakah aku baik-baik saja?”
Ia lalu melepaskan pelukanku, menatapku sambil
memegang tanganku.
“Anda tetap wanita tercantik di dunia ini nona Amora,”
ia lalu tersenyum dan meninggalkanku. Aku lalu masuk kembali ke kamarku dan
bersiap-siap untuk mandi.
Setelah berendam selama 15 menit lebih aku lalu turun
menuju meja makan, berbagai hidangan lezat buatan Charmen menghangatkan hatiku.
“Charmen, temani aku makan,”
“Baik Nona,”
Selama kurang lebih 10 menit aku menyantap makanan itu
dalam kebisuan bersama Charmen. Setelah selesai makan aku berniat mengunjungi
Alvero ke kamarnya. Di ujung kanan ruangan ini adalah kamar Alvero, aku membuka
pintu kamarnya perlahan, warna biru langsung terbentang di penglihatanku. Biru
adalah warna favorit Alvero, matanya seperti biru laut yang menghanyutkanku,
senyumnya seperti langit cerah dan tangannya yang kokoh seperti pepohonan yang
siap menjaga aku kapanpun.
“Kekasihku, apa kabarmu hari ini?” aku duduk di tepi
ranjangnya yang sangat lembut. Ia tertidur pulas, bahkan saat tidurpun
ketampanannya tak pernah sirna. Aku mengelus rambutnya perlahan, aku sangat
merindukannya, padahal aku baru bertemu dengannya tadi siang, tapi kenapa dia
terasa sangat jauh dari genggamanku.
Aku lalu mencium tangannya, keningnya dan kedua
pipinya. Aromanya sangat khas, aroma yang paling aku sukai di dunia ini. Aku
suka kemeja yang dia gunakan sekarang, biru dengan gari-garis hitam.
“Kekasihku, kau selalu bertambah tampan setiap hari
dan tak seorangpun bisa menandingimu. Apakah kau dengar suara hujan yang
mengguyur atap rumah kita, udara sangat buruk diluar, tapi ada keindahan disana
disela-sela rintihan hujan. Bukankah kita sangat senang melihat hujan dan kau
akan mengajakku berdansa dengan irama hujan itu.”
Aku lalu bangkit dan menirukan gaya berdansa kami,
sesekali aku tertawa sendiri saat mengingat wajahnya yang kesal karena aku
selalu lupa dengan gerakan yang ia ajarkan. Saat seperti itu aku lalu
menciumnya dan ia akan tersenyum lalu kembali mengajarkanku beberapa gerakan
lagi.
“Sayang, aku sekarang sudah hafal semua gerakan yang
kau ajarkan, sangat hafal, bahkan dengan mata tertutup aku bisa melakukannya,”
setelah cukup lelah aku lalu berhenti dan berbaring disampingnya, memeluknya
dengan erat.
“Alvero, semakin hari aku semakin mencintaimu
kekasihku, tunggulah sebentar lagi, sabarlah menunggu kekasihku,” beberapa
bulir airmata menetes, dan terus mengantarkanku bermimpi bersama kekasihku.
Saat aku membuka mata, aku melihat tubuh Alvero
berbaring di sampingku. Aku menatap matanya dan membelai wajahnya.
“Kekasihku, sepertinya aku harus bersiap-siap. Paman
mengajakku untuk melihat kebunnya yang sudah panen, itu pasti indah sekali, aku
akan membawakanmu beberapa hasil panennya. Baiklah, istirahatlah yang cukup
agar kondisimu tetap sehat kekasihku, sampai jumpa,”
“Charmen…” aku mencari Charmen di dapur, tapi dia tak
berada disana. Tak berapa lama pengawalku Rodrigo datang.
“Nona, Charmen tadi berpesan kepada saya bahwa dia
pergi membeli beberapa kebutuhan rumah dan mungkin kembali agak siang,”
“Baiklah, aku juga punya janji dengan paman Xavier,
katakan pada Charmen aku akan pulang sebelum matahari terbenam,”
“Baik Nona,”
Satu jam kemudian aku sudah tiba di rumah paman yang
dikelilingi kebun yang terluas di kota ini.
“Keponakanku yang tercantik, Amora, apa kabarmu,
sayang?” ia lalu memelukku dengan kasih sayang.
“Paman bisa lihat sendiri, aku baik-baik saja,” aku
tersenyum memandangi wajahnya yang sudah dipenuhi keriput.
“Paman terlihat sangat sehat,”
Paman mengajakku ke kebun tomat rojo miliknya, tomat
itu sangat segar dan berwarna merah yang sangat indah. Aku memetik salah satu
dari buah itu dan memakannya, rasanya sangat lezat dan manis. Di sebelah kanan
terhampar kebun anggur yang luas, sedangka disebelah kiri dipenuhi tanaman
sayuran dan buah-buahan.
“Ambillah apa yang kau sukai Amora, dan bawa ke
rumahmu. Kau pasti akan semakin sehat dan bertambah cantik dengan hasil
kebunku.”
Aku tersenyum melihat kegembiraan di wajah paman,
betapa beruntungnya aku memiliki paman Xavier.
“Dimana Orchid, paman?” Orchid adalah putri paman
Xavier, sedangkan istrinya telah meninggal 5 tahun yang lalu.
“Dia punya beberapa urusan dengan keluarga istana,
belakangan ini dia disibukkan dengan hama yang menyerang beberapa tanaman
rakyat. Apakah kau tidak berniat ke istana?”
“Aku baru meninggalkan istana 1 tahun paman, aku tidak
berniat kembali kesana secepat ini, lagipula ayah dan ibu selalu mengunjungiku
setiap bulan.”
“Amora, bagaimana perasaanmu sekarang?”
Aku menatapnya dengan pandangan sayang, “Paman, jangan
khawatirkan aku, aku merasa bahagia sekarang berada disini dan melihat kebun
paman yang paling indah,” aku lalu menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk
ke rumah.
“Wah tidak terasa sebentar lagi matahari terbenam,
sebaiknya aku pulang sekarang, aku sudah berjanji pada Charmen untuk pulang
cepat, paman.”
“Tidakkah kau mau menginap semalam di rumah paman mu
yang tua ini Amora?”
“Paman, sepertinya aku harus pulang, aku tidak mungkin
meninggalkan Alvero sendiri di kamarnya.” Saat aku menyebut nama Alvero, ekspresi
wajah yang tersenyum itu seketika pudar, ia lalu mengalihkan pandangannya ke
arah lain.
“Paman, hari ini aku senang sekali berada disini,
terima kasih untuk buah-buahannya,” aku lalu memelukknya dan mencium kedua
pipinya.
“Kunjungilah aku sesering mungkin Amora,” terdengar
suara paman sebelum aku meninggalkan rumahnya, aku membalasnya dengan senyuman
dan anggukan.
Sesampainya di rumah aku menemukan Charmen sedang
berada di dapur memotong beberapa sayuran.
“Charmen, tolong sajikan buah-buahan ini. Ini semua
dari kebun pama Xavier, lihat betapa segarnya dan ukurannya sangat besar,”
“Ya kelihatannya panen Tuan Xavier sangat bagus,
bagaimana keadaan disana?”
“Aku senang berada disana, dan bertemu dengan paman
yang paling aku sayangi,”
“Syukurlah, sebaiknya nona bersiap-siap untuk mandi,”
Aku lalu mengangguk, sebelum aku mandi aku pergi
menemui Alvero.
“Sayang, bagaimana kabarmu hari ini? Aku baru saja pulang
dari rumah paman Xavier, setelah aku makan malam aku akan membawakanmu beberapa
buah segar dari kebunnya. Wah baju yang kau pakai sekarang benar-benar pantas
di tubuhmu, oke sebenarnya semua baju cocok untukmu kekasihku yang paling
tampan, ha..ha..”
Aku lalu pergi meninggalkan kamar Alvero dan bersiap
untuk mandi.
“Charmen, hidangan buatanmu selalu lezat,”
“Terima kasih nona Amora,”
Malam inipun aku habiskan bersama Alvero di kamarnya,
menceritakan beberapa kisah lucu dan menyantap buah-buahan dari kebun paman
Xavier hingga aku mengantuk dan tertidur.
Saat aku terbangun keesokan harinya, aku merasa sangat
haus dan berjalan ke dapur. Setelah meminum segelas air, aku berjalan keluar
ingin melihat kebun bungaku. Saat itulah aku melihat 2 orang pembantuku sedang
berbicara dan aku terdiam di balik dinding mendengarkan mereka.
“Kasihan sekali nona Amora, dia gadis cantik, tapi
sudah ditinggal mati kekasihnya,”
“Husshh… kita dilarang membicarakan itu di rumah ini
ataupun dimanapun, bagaimana kalau nona Amora mendengarnya?”
“Tenang saja, pasti dia sedang tidur di sebelah mayat
kekasihnya,”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Tuan Alvero?”
“Tuan Alvero meninggal tepat disaat hari pernikahannya
dengan nona Amora, sebenarnya tuan Alvero sudah lama menderita penyakit itu dan
akhirnya penyakit itu merenggutnya di hari pernikahannya,”
“Ya ampun, pantas saja mayat itu berada di rumah ini.
Pasti nona Amora sedih sekali, tetapi itu sangat menyeramkan, apakah dia sudah
gila?”
Tidak.. tidak… aku berusaha menutupi telingaku, aku
tidak mau mendengar semua ini, aku tidak mau mengingat hal itu. Kekasihku pasti
akan hidup kembali, dia tidak akan pernah meninggalkanku.
*******
“Amora, sayang,”
“Alvero,” aku lalu memeluk kekasihku itu.
“Kita akan menikah besok, dan kau akan menjadi milikku
selamanya,”
“Dari dulu aku adalah milikmu, kita sudah ditakdirkan
bersama,” kataku dengan yakin sambil membelai rambutnya.
“Uhukk..uhukk” tiba-tiba saja Alvero batuk dan
mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Kekasihku, kau kenapa? Kau baik-baik sajakan?”
“Aku baik-baik saja sayang, bukankah ini sudah biasa.
Tolong ambilkan sapu tangan,”
Aku lalu mengambilkan sapu tangan dan membersihkan
darah dari tangan dan mulutnya.
“Minumlah obatmu sayang,”
“Aku terlalu gembira sehingga lupa meminum obatku,”
“Aku tidak mau kehilanganmu, kekasihku,”
“Sayang, masih maukah kau menikahi pria yang mempunyai
penyakit ini, yang bahkan bisa diambil nyawanya kapanpun,”
“Bahkan bumi dan langitpun menjadi saksi cintaku
Alvero, apapun kondisimu dan seperti apapun dirimu, aku akan mencintaimu
selama-lamanya, bahkan kematian takkan pernah memisahkan kita,”
“Kau adalah calon pengantin yang paling aku cintai di
dunia ini, kau tercantik dan terbaik yang pernah kumiliki, Amora,”
Suasana istana
sangat meriah dan megah, hari ini aku dan Alvero akan mengucap janji suci
pernikahan, dan kami akan saling memiliki selamanya. Aku sangat gugup, ayahku
berdiri disampingku menjadi pendampingku di depan semua rakyat kami, disana aku
melihat Alvero, tersenyum melihat kehadiranku menuju kearahnya. Dialah lelaki
tertampan dan tiada tandingannya di dunia ini, ia bersinar diantara yang
lainnya.
“Kau lah permata terindah yang mengalahkan seluruh
permata di dunia ini, kekasihku Amora,” Alvero menggenggam tanganku dan
menciumnya.
Saat ia menatap mataku, tiba-tiba saja ia terpaku,
menyentuh dadanya, ia meringis lalu ia jatuh tepat dihadapanku.
“Alvero…” teriakanku yang terdengar seperti bisikan.
Semua orang kaget melihat apa yang sedang terjadi. Aku
meletakkan kepalanya dipangkuanku.
“Kekasihku, bangunlah, kau akan baik-baik saja!”
Aku melihat matanya yang mulai terbuka dan tangannya
perlahan menggenggam tanganku, dan berusaha berbicara.
“Kau lah cinta
abadiku,” saat itulah terakhir kalinya aku melihat Alvero membuka matanya.
“AAHHH…. Alvero, tidak, jangan tinggalkan aku,”
Saat aku sadar, keluargaku dan orang tua Alvero sudah
berada di kamarku, mereka menangis dan berpelukan.
“Ada apa? Kenapa kalian semua menangis? di mana
Alvero?” aku lalu bangun dari tempat tidur dan merasa agak pusing.
Ibuku menghampiriku dan memelukku dengan erat dan
berkata supaya aku sabar, tenang, dan tabah. Aku sebenarnya tidak mengerti apa
yang ia ucapkan. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan berjalan keluar
mencari Alvero.
“Amora, Alvero sudah meninggal. Kamu harus menerimanya!”
Aku lalu menatap wajah yang mengatakan kata-kata itu
dengan tatapan tajam, Veronica, kakakku, menatapku dengan pandangan sedih dan
berurai airmata.
“Alvero baik-baik saja, dia hanya merasa letih dan
butuh banyak istirahat, tunjukkan aku dimana Alvero!” ayahku lalu membimbingku
menuju sebuah kamar, disana Alvero berada ditutupi sebuah kain putih.
Apa-apaan ini, Alvero tidak akan senang dengan
perlakuan orang-orang ini. Dia baik-baik saja.
“Siap kan kendaraan Ayah, aku dan Alvero akan tinggal
di pulau Taxix, tidak ada yang boleh berada disana kecuali dengan seizinku,
kalian memperlakukan Alvero dengan buruk,”
Dengan keadaan seperti itu semua orang sibuk
mempersiapkan apa yang aku inginkan, akupun membawa Alvero kesana.
Aku mencari seorang penyihir bernama Darxi, wanita tua
dari suku gipsi yang mendiami rumah tua di tepi queensland.
“Aku mau Alvero kekasihku, hidup kembali,”
“Aku bukan tuhan, anakku,”
“Aku tak perduli, yang aku butuhkan hanya dia, kau
harus bisa menghidupkannya kembali. Apapun yang kau inginkan akan aku berikan.”
“Nona Amora,” wajahnya terlihat bingung.
“Aku berikan waktu 1 minggu untuk membuatnya hidup
kembali, atau kau yang akan kehilangan kepalamu,” saat itu juga matanya
terbelalak melihatku.
“Nona Amora, aku tak punya kekuatan untuk menghidupkan
seseorang yang telah mati. Walaupun kau bunuh aku, kekasihmu takkan pernah
hidup kembali,”
“Pasti ada satu cara, aku akan menemukan orang yang
sangat hebat, tidak sepertimu penyihir bodoh,” aku mencengkeram bahu kanannya
dengan kuat, tatapannya diam tanpa ekspresi.
“Walaupun dia hidup kembali kau takkan pernah bahagia
Amora, satu-satunya kebahagian adalah ketika kau merelakan dia pergi,”
“Pengawal, bunuh dia dalam jurang kegelapan abadi di
hutan blackforest,”
“AMPUNI AKU AMORA!” masih terdengar teriakan
nyaringnya di telingaku.
******
“NONA AMORA!” teriakan Charmen menyadarkanku yang
terpuruk disudut rumahku.
“Apa yang terjadi padanya?”
“Maafkan kami Charmen, kami tidak sengaja menceritakan
hal terlarang itu,”
“Kalian bodoh, tinggalkan rumah ini dan jangan pernah
kembali atau kau akan mati di tempat paling mengerikan di dunia ini,”
Aku mendengar suara hentakan kaki yang menjauhi
tempatku, Charmen lalu memelukku dengan erat, ia menangis melihatku kondisiku
yang menyedihkan.
“Charmen…”
“Nona Amora, tenangkan diri anda, aku sudah berada
disini,”
“Apa yang terjadi dengan Alvero kekasihku?”
“Sudahlah mari aku antarkan ke kamar nona,” ia
membimbingku menuju kamar, lalu menyelimutiku.
“Berusahalah untuk memejamkan matamu, aku akan
membawakan obat. Tunggulah sebentar,”
Saat Charmen meninggalkanku, aku bangkit perlahan dan
duduk ditepi tempat tidurku. Aku tersenyum memandangi seorang pria yang berdiri
kokoh dihadapanku, mengenakan pakaian pernikahan, terlihat tampan dan bersinar.
“Sayang, ikutlah denganku,”
“Aku akan ikut kemanapun kau membawaku cinta,”
Alvero lalu mengulurkan tangannya padaku, dan aku
menyambutnya. Aku memeluknya perlahan lalu kami berjalan di sebuah jalan
panjang yang indah, yang penuh dengan bunga-bunga dipinggirnya, disinari cahaya
yang sangat terang. Aku bahagia kini bisa menggenggam tangan kekasihku Alvero.
“NONA AMORA……..”
Teriakan Charmen menghentakku, aku menoleh, melihatnya
sekilas saat tubuhku terasa melayang jatuh menjauhi pandangan histerisnya. Apa
yang sebenarnya terjadi? Aku tak dapat merasakan apapun sekarang, bahkan aku
tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku.
“CEPAT TOLONG NONA AMORA, IA JATUH DARI ATAS!”
Aku melihat Alvero lagi, tersenyum dan mengulurkan
tangannya untuk menarikku.
“Maafkan aku sayang,”
“Tidak apa-apa Alvero kekasihku, sampai nafas
terakhirku pun aku akan mencintaimu,”
Kini aku bahagia, ku sambut tangan itu dan kupejamkan
mataku yang terasa amat lelah.
**********************end****************************
Comments
Post a Comment
silahkan memberikan komentar yang membangun sebagai ciri masyarakat Indonesia yang berbudi :)