"Satu Buket Bunga"


Hari ini hanya ada beberapa pengunjung di cafe, aku sendiri masih sibuk membereskan laporan keuangan cafe di ruang kerjaku. Kulihat beberapa karyawanku yang masih bisa duduk bersantai, biarlah mungkin hari ini dapat dijadikan sedikit lebih bersantai asal pelayanan terhadap tamu tetap memuaskan.

Setelah menyelesaikan tugas, aku pun beranjak keluar melihat kondisi cafe. Beberapa karyawan menunduk saat melihatku, aku pun membalasnya dengan senyuman. Sudah 3 tahun aku memulai bisnis cafe ini, dengan susah payah aku membangun cafe ini sehingga menjadi seperti sekarang.  Dari seorang yang bukan apa-apa menjadi seorang yang bisa membeli apa-apa, menyenangkan bukan menikmati hasil dari jerih payah selama ini.



“Mbak En,” panggil karyawanku yang bernama Dena.

“Iya Den, ada apa?”


“Apakah saya boleh minta izin 2 hari?”

“Kenapa?” tanyaku.

“Begini.. ehmm..” katanya sedikit ragu.


“Ibu saya berulang tahun besok, dan saya ingin pulang ke rumah memberinya hadiah, karena saya sudah 2 tahun tidak pulang.

“Maaf Den, sepertinya tidak bisa. kamu baru 3 bulan bekerja disini, jatah cuti bisa diambil setelah 6 bulan bekerja. Saya bisa memberikan kamu izin, tapi untuk hal-hal yang benar-benar mendesak,” aku harus tetap mempertahankan sikap disiplin yang sudah aku jaga, aku harus tegas kepada semua karyawan walaupun cafe ini mempunyai landasan kekeluargaan tapi untuk masalah pekerjaan aku tetap memprioritaskan yang utama.

“Iya, mbak En.” Iya pun kembali ke dapur dengan muka kecewa, jika aku mengizinkan dia berarti aku sudah bersikap tidak adil kepada yang lain dan mereka akan menuntut hal yang sama.

Beberapa jam kemudian cafe sudah ramai pengunjung karena sudah masuk jam istirahat kantor. Karyawanku terlihat sibuk melayani permintaan pelanggan, aku berdiri di depan cafe mengawasi dan menyambut para pengunjung yang datang.
Hendro salah satu karyawanku datang menghampiri dengan berlari kecil.

“Mbak En, ada masalah.” ujarnya tiba-tiba.

“Ada apa?”

“Si Munik sakit mbak, dari tadi ia mengeluh sakit perut,”

Aku pun lari kebelakang untuk melihat keadaan Munik. Aku melihatnya duduk di dapur dengan muka pucat.

“Mun, kamu kenapa?”

“Perut saya sakit mbak,” katanya perlahan.

“Ya udah, sekarang kamu pulang dan bawa ke dokter. Ndro, kamu antar Munik dan balik kesini cepat ya, banyak pelanggan.”

“Iya mbak,” jawab Hendro.

Sepertinya aku harus turun tangan, Munik yang bertugas di bagian pengantaran makanan harus aku gantikan karena pelanggan cukup ramai. Aku lalu mengenakan seragam karyawan dan membantu membawakan makanan ke meja-meja yang sudah memesan.

Setelah hampir semua meja terlayani, aku kembali berdiri di depan cafe, tiba-tiba seorang laki-laki muda menghampiriku dengan membawa satu buket bunga.

“Mbak,” katanya perlahan.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” aku melihatnya tampak malu-malu dan gugup.

“Bisa tolong berikan bunga ini untuk wanita rambut panjang yang mengenakan baju berwarna hijau disana?” ia menunjuk kearah sebelah kiri cafe.

Aku menerimanya dengan bingung, belum sempat aku berkata-kata, lelaki muda itu sudah berjalan meninggalkanku. Baiklah sekarang tugasku untuk memberikan bunga ini kepada yang harus menerimanya. Aku berjalan perlahan mengamati wanita yang dimaksud lelaki tadi. Di pojok sebelah kiri terlihat gadis muda yang sedang menerima telepon dan berbicara dengan agak keras, sehingga dari tempatku berdiri aku bisa mendengarnya.

“Papi jangan lupa ya kirim uang lagi, yang kemarin papi kirim udah habis. Oh iya, aku bosan dengan mobil jazz punyaku, bulan depan ganti yah pi?” dan percakapan itu masih berlanjut terus, yah apa benar gadis yang dimaksud adalah yang itu, ia menggunakan dress hijau muda yang tampak mencolok. Aku sedikit bingung apa iya ada laki-laki yang menyukai gadis manja dan suka pamer itu, hampir setengah cafe mungkin bisa mendengar percakapannya. Ternyata tepat di belakang gadis itu duduk seorang wanita berumur empatpuluhan yang sibuk dengan laptopnya, ia menggunakan kemeja kantor berwarna hijau tua.

Tapi apa iya, laki-laki itu menyukai tante-tante yang cocok menjadi ibu-nya? Aduh aku jadi bingung. Jangan-jangan itu ibu-nya, dan ia bermaksud memberikan bunga ini untuk ibu-nya. Buket bunga itu masih aku pegang dengan pikiran menerka-nerka. Aku lalu melihat surat yang diselipkan diantara bunga itu, Happy Birthday. Tiba-tiba wanita tua itu melamun sambil memandangi anak kecil disebelah mejanya yang memegangi balon bertuliskan Happy Birthday. Dari situlah aku akhirnya yakin pasti wanita itu yang berulang tahun hari ini, aku pun mendatanginya dan menyerahkan buket bunga ini. Ia kaget melihatku menyodorkan bunga ini.

“Happy Birthday,” ucapku spontan.

Ia menerima bunga itu dengan bingung, tak berapa lama air mata menetes mengaliri pipinya. Spontan aku kembali bingung lalu menarik kursi dan duduk disebelahnya.

“Apakah saya melakukan hal yang salah?” tanyaku.

Ia lalu memandangiku dengan seksama, “Kamu tidak salah,”

“Lalu kenapa Ibu menangis? Saya jadi takut,” ucapku sambil tersenyum merasa serba salah.


“Darimana kamu tahu saya yang berulang tahun hari ini?” tanyanya.

“Seorang lelaki muda menitipkan ini dan meminta saya menyerahkan bunga ini,”

“Lelaki muda?” ia juga sama bingungnya denganku.

“Baru kali ini aku mendapatkan hadiah bunga di hari ulang tahunku, kamu tahu aku adalah direktur di salah satu perusahaan besar, tapi tak seorangpun tahu hari ini ulang tahunku. Bahkan anak-anakku terlalu sibuk untuk mengucapkannya atau mereka lupa seperti biasanya,”

Aku tertegun mendengar ucapannya, tidak menyangka bahwa di hari ulang tahunnya ia merasa sedih karena tak seorangpun mengingatnya. 

“Happy Birthday, ini khusus dariku,” ucapku lalu menyodorkan tangan, ia lalu menyambutnya dan tersenyum. 

Hp gadis muda tadi berbunyi lagi dan seperti biasa suaranya terdengar cukup baik di telingaku.

“Hai, lagi dimana? Oh.. jangan lupa ke pesta ulang tahunku nanti malam ya,”

Aku yang mendengar percakapan itu jadi menelan ludah, bagaimana bisa mereka menggunakan baju berwarna sama dan berulang tahun di hari yang sama. Jangan-jangan aku memberikan bunga kepada orang yang salah, mungkin saja lelaki itu menyukai gadis itu tapi malu memberikan bunga ucapan selamat ulang tahun ini.

Aku kembali memandangi wanita tua disebelahku, ia tersenyum bahagia memandangi bunga itu dan terus merasakan aromanya. Yah kupikir tidak ada salahnya kesalahanku kali ini, gadis itu bisa dapat banyak bunga dari banyak orang dan dia tetap akan merasa kurang, dibanding wanita yang duduk disampingku dengan satu buket bunga saja sudah membuatnya merasa senang dan puas. Mungkin aku sedikit merasa bersalah terhadap lelaki muda itu, tapi dia pantas mendapat gadis yang lebih baik.
Nah sekarang gilianku menghampiri Dena untuk memberikan cutinya, aku tidak akan bangkrut hanya kekurangan satu karyawan tapi mungkin aku bisa membuat beberapa orang sedih karena tidak memberikan cuti.


                                                                     **** end ***

Comments

Comments
Comments
  1. Cerpen yg bagus...i like it...
    salam kenal....
    Follow back http://blogspektrum.blogspot.com ya?

    ReplyDelete

Post a Comment

silahkan memberikan komentar yang membangun sebagai ciri masyarakat Indonesia yang berbudi :)

Popular posts from this blog

Fungsi Google Images untuk Mencari Sumber Gambar atau Foto

Bahasa persia, persian language Part 2

Review Running Man episode 384