"CICA YANG SELALU KU TIMANG"


Kali ini aku hanya bisa menatap wajah gadis mungil yang kutimang, oh anakku sayang, janganlah kau menangis seperti itu membuat hatiku semakin pilu. Belum sembuh lukaku atas kepergian istriku setelah melahirkan anakku ini. Apa yang harus kuperbuat teradap anak ini, memikirkan nama yang seharusnya sudah kuberikanpun tak sempat aku pikirkan. Siapa ya? Nama apa yang harus kuberikan, bagaimana kalau Cicca, ya aku suka nama itu. Cicca berhentilah menangis, Ayah disini akan selalu melindungimu, tunggu sampai Bibimu datang membawakan susu ya, kau pasti sudah sangat hauskan.
“Mas, ini susunya. Aku boleh berhutang susu ini dulu, nanti setelah aku mendapatkan gaji akan aku bayar susu ini.” Kata Dini, adik kandungku.
“Terimakasih Din, maaf aku telah merepotkanmu. Besok aku akan berusaha mencari kerja lagi, untuk membeli susu Cicca,”
“Wah kau sudah memberinya nama Cicca Mas, lucu sekali. Sudahlah tak usah dipikirkan, Mas kan saudara kandungku, aku tahu bagaimana sulitnya merawat Cicca kedepannya,”
“Iya, aku tidak tau bagaimana harus membesarkannya nanti. Apakah aku bisa merawatnya,”
Aku termenung sendiri mendengarkan kata-kataku. Adikku Dini sudah menikah dan punya dua orang anak, aku tidak tega lagi merepotkannya setelah 6 bulan ini sudah menumpang di rumahnya. Terpaksa rumahku yang dulu aku jual untuk membiayai kelahiran Cicca.
Keesokannya aku mencari pekerjaan, akhirnya aku mendapatkan sebuah pekerjaan, tapi aku harus pindah keluar kota. Seorang kontraktor mencari lima puluh laki-laki yang mau dijadikan kuli bangunan di kota untuk pembangunan perumahan. Aku bertanya padanya apakah boleh aku membawa seorang bayi perempuan anakku. Dia berpikir agak sedikit lama, namun akhirnya mengangguk dengan mengajukan satu persyaratan bahwa anakku tidak akan megganggu pekerjaanku. Akupun mengatakan setuju. Lalu berpamitan pada adiku Dini keesokannya, aku sangat berterimakasih sekali padanya. Dia menangis sambil memelukku dan mengatakan aku harus berhati-hati dan menjaga Cicca baik-baik.
Akhirnya sampailah aku di tempat yang asing bagiku, tanah terhampar luas disini, belum ada bangunan apapun dan di tanah inilah nanti aku bersama rombongan akan membangun rumah. Kami di tempatkan di lima rumah yang terbuat dari papan, satu rumah diisi 10 orang. Semua orang menatap aneh padaku yang menggendong seorang anak di tempat yang asing ini. Setelah berjalan seminggu aku mulai akrab dengan yang lainnya, mereka bersimpati terhadap keadaanku, kadang kami bergantian menjaga Cicca jika sedang melakukan pekerjaan.
Tak semudah yang aku pikirkan menjaga Cicca seorang diri, saat dia sedang sakit aku benar-benar panik. Tangisnya tak berhenti, aku tak tahu harus berbuat apa, aku berikan dia susu botol ia menolaknya, aku gendong ia kesana kemari tapi tangisnya tak mau berhenti. Seorang teman di rumah menganjurkan aku segera untuk membawanya ke dokter. Tak lamapun aku membawanya dengan diantar temanku itu. Dokter mengatakan ini adalah demam karena giginya mau tumbuh, khawatirku sedikit sirna, namun dokter tetap menganjurkan agar aku membeli obat yang ia resepkan.
Dengan uang yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit, aku bisa mengontrak sebuah rumah kecil, sekarang Cicca berumur satu tahun 4 bulan, tak terasa juga anak ini sudah besar dan semakin cantik. Kehadiran Cicca membuat hilang sepiku, setiap hari aku bekerja hanya untuk memikirkan masa depannya. Saat ada waktu senggang di rumah aku mengajarinya berjalan, kami menghabiskan waktu bersama dengan tertawa dan gembira.
Pada suatu hari saat aku sedang menggendongnya terdengar suara dari bibir mungilnya, “Ma..ma.. ma..ma,”
Cicca sudah bisa berbicara, aku senang bukan main mendengarnya, walaupun buka kata Papa yang pertama kali aku dengar tapi aku senang.
“Ayo Ca, bilang Papa.. papa sayang,”
“Ma..ma..” katanya terbata-bata.
“Ha…ha..” aku tertawa mendengar jawabannya, tetap saja anak kecil diseluruh dunia ini memanggil kata mama ketika baru mulai berbicara.
Saat ia berulang tahun yang ketiga aku mengajaknya berjalan-jalan ke pasar, aku ingin membelikannya sepatu dan baju yang baru. Cicca meloncat-loncat kegirangan aku ajak berjalan-jalan.
“Pa..ppa. papa..” teriaknya sambil memelukku dengan kencang saat melihat ramainya orang-orang di pasar ini. Mungkin ia takut karena melihat orang-orang yang baru dilihatnya.
“Iya gak papa sayang, tuh nanti kita beli baju ya!”
Cicca senang saat melihat-lihat baju yang banyak, ia menunjuk beberapa yang bergambar kartun, akupun membelikannya baju-baju itu. Saat aku sedang asyik memilih baju-baju yang lucu untuknya aku lihat dia sibuk melihat mainan yang dijual penjual sebelah. Aku membiarkannya karena asyik memegang mainan-mainan itu.
“Bu, kalau yang itu berapa?”
“Itu 20 ribu pak, kalau yang warna pink itu,”
Setelah agak keasyiakan memilih baju untuk Cicca aku baru tersadar Cicca sudah tidak ada.
“Pak, anak perempuan yang tadi disini dimana pak?” kataku cemas saat melihat tak ada Cicca di tempat mainan itu.
“Wah saya gak tau tuh Mas, iya iya ayuh di beli..di beli sayang anak, sayang anak…” teriaknya disela berbicara denganku.
Aku bertambah pucat mendengar penuturannya.
“CIIIICCCCAAAA……” teriakku dengan kencang. Orang-orang hanya menatapku dengan heran.
“Kenapa Pak?” kata seorang penjual menghampiriku.
“Anak saya hilang Bu, umurnya tiga tahun memakai baju warna kuning,”
“Hilang dimana Pak?”
“Tadi dia ada disebelah saya sedang melihat-lihat mainan, ketika saya melihatnya dia sudah tidak ada bu,”
Ibu itupun membantuku mencari Cicca di temani oleh satpam pasar itu. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana rupaku yang berkeringat dingin dan panik. Cicca dimana Ya Tuhan, Cicca kamu dimana nak, papa cemas. Satpam itu kembali dengan ekspresi kosong, ia mengatakan sudah mencari kemana-mana tapi tidak kelihatan.
“Saya takutnya anak bapak sudah diincar sebuah sindikat yang mencuri anak kecil untuk dijadikan pengemis, karena belakangan ini berita itu telah menyebar Pak, beberapa orang juga melaporkan kehilangan anaknya."
“Ya Allah, Cicca,” aku bertambah sedih mendengar penuturan Satpam itu.
Sampai tengah malam aku berjalan menyusuri jalan raya dan berteriak dengan suara yang hampir habis memanggil nama Cicca. Bodohnya aku ini semua salahku, keteledoranku sampai Cicca bisa menghilang dari pandanganku, orangtua macam apa aku ini. Bagaimana keadaan Cicca sekarang, ia pasti menangis disekitar orang asing. Aku mendengar samar-samar suara tangisan anak kecil.
“Itu jangan-jangan suara Cicca,” aku berjalan menyusuri jalan ke arah suara itu.
“Cicca.. Cicca” saat aku menemukan suara siapa itu, ternyata suara seorang anak kecil yang digendong ibunya, mungkin ia menangis karena kedinginan. Itu bukan Cicca, dimana Cicca sekarang.
Selama satu minggu lebih aku lakukan menyusuri jalan-jalan untuk mencari Cicca, tampangku sudah seperti orang gila saja, aku hanya makan jika ingat, tak ada lagi semangat hidup didiriku. Pekerjaanku aku tinggalkan demi mencari Cicca. Aku melaporkan pada polisi tapi sampai sekarang belum ada kabar yang aku dengar. Dimana Cicca Ya Allah, bantulah aku menemukan anakkku.
Tak terasa ini sudah setahun semenjak aku kehilangan Cicca, aku tak tahu bagaimana rupa dan keadaanku sekarang, semua aku jalani seperti tiada rasa dan hambar, aku ingin mati saja karena kebodohanku yang membuat Cicca hilang. Tapi aku berpikir bagaimana jika ternyata Cicca kembali dan tak menemukan siapapun. Aku harus hidup untuk Cicca, ya aku harus sampai Cicca kutemukan. Apa yang harus nantinya aku pertanggungjawabkan dihadapan istriku kelak.
Kali ini aku bekerja sebagai penjaga toko makanan, aku selalu memperhatikan jalan dan mataku selalu awas memperhatikan setiap orang yang lewat hilir mudik, aku harus menemukan Cicca harus.
Sebuah mobil berhenti didepan toko yang aku jaga, seorang wanita kaya turun dari mobil dan membeli beberapa makanan dari toko yang kujaga. Saat ia kembali ke mobil, kaca belakang mobil tersebut terbuka, seorang gadis kecil tersenyum dan meloncat-loncat di tempat duduknya.
Betapa kagetnya aku melihat gadis kecilku, itu Cicca, tidak aku tidak mungkin salah lagi, Cicca anakku yang selalu kutimang, kurawat dari bayi. Walaupun ia sedikit berubah aku tidak mungkin salah.
“Cicca..” nama itu terlontar secara perlahan dari bibirku. Tapi mobil itu mulai bergerak hendak meninggalkan jalan. Aku mulai beranjak dari tempatku berdiri, aku tidak akan kehilangan Cicca untuk  yang kedua kalinya.
Aku menyetop seorang tukang ojek dan menyuruhnya mengikuti mobil yang ada didepanku. Mobil itu berhenti disebuah rumah yang sangat besar di kawasan elit. Jika aku berteriak bahwa itu anakku pasti semua orang akan menganggapku gila dan aku tidak akan pernah mendapatkan anakku lagi, aku harus menemukan cara untuk mendapatkan Cicca. Bagaimanapun caranya.
Keesokannya aku datang lagi, aku pura-pura melamar sebagai tukang kebun, ternyata mereka memang membutuhkan seorang tukang kebun. Syukurlah karena aku bisa memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan Cicca. Saat sedang memotong rumput kulihat Cicca keluar dari rumahnya ditemani seorang pembantu, mereka bermain masak-masakan di depan rumah, sesekali Cicca berlari tertawa. Aku bersyukur Cicca tidak kekurangan apapun selama tidak bersamaku, untung saja dia tidak diculik oleh para sindikat penculik anak-anak. Apakah Cicca masih mengenalku? Cicca ini papa, kamu masih ingat papa Nak, ini papa. Hatiku terus memanggil namanya ingin memeluk dan menciumnya sepuasnya. Ia berlari mendekat kearahku, ia melihatku dengan heran, ia cuma terdiam, dan memegang-megang mainannya dengan agak sedikit keras.
“Om siapa?” kata mulut kecilnya.
Aku kaget dan benar-benar sedih, apakah dia benar-benar tidak mengenalku. Memang waktu aku kehilangan dia, Cicca masih terlalu kecil. Tapi apakah benar-benar ia tidak mengingatku.
“Neng Oca, ayuh masuk disuruh mama makan,”
“Iya Bi,”
Oca? Namanya Cicca bukan Oca. Mungkin sudah setahun lebih tinggal bersama orang lain, ia jadi lupa padaku. Cicca ini papa nak, aku tak mau kehilangan Cicca lagi.
Saat Cicca sedang bermain sendiri di halaman depan, pikiranku untuk bersama Cicca semakin besar, aku menggendongnya dan terus membawa Cicca berlari saat satpam sedang lengah. Ia menangis menyerukan nama mamanya.
“Cicca ini papa ini papa, jangan nangis. Sekarang kita bisa hidup berdua lagi,”
“Mama..mama.. lepasin!,”
“Cicca ini papa sayang jangan nangis,” aku membawanya ke suatu tempat. Ia masih menangis namun selama tiga jam akhirnya berhenti juga.
“Cicca laper nak, biar papa beliin makanan ya?”
Iya hanya diam tak mau menjawab, “Ca, kamu masih ingat dulu papa pernah ngajak kamu ke pasar kita beli baju dan kamu hilang disana, kamu gak lupakan Ca, ini papa, lihat wajah papa. Kamu gak mungkin lupa,”
”Oca mau mama, mama,”
“Nama kamu Cicca bukan Oca, Nak, ini papa,”
Susah sekali meyakinkan anak kecil apalagi ia sudah tinggal bersama orang itu setahun lebih. Apakah dia akan bisa mengingatku, aku mulai frustasi memikirkannya.
“Cicca jangan nangis lagi, ayo kita beli makanan! Cicca pasti lapar. Papa setahun lebih mencari Cicca kemana-mana. Papa tidak bisa hidup tanpa Cicca sayang,”
Aku mengajaknya berjalan mencari makanan, mungkin sekarang aku dicari polisi, aku harus segera pergi dari kota ini aku tak perduli pada apapun. Asalkan aku bersama Cicca. Tiba-tiba saja genggaman tangan Cicca lepas dari tanganku. Ia berlari sambil meneriakkan mama mama di jalan, dari jauh sebuah truk kencang sedang melaju, dan Cicca berlari kearah jalan raya.
“Cicca, tidak, jangan lari kearah situ Nak,” dengan sekuat tenaga aku berlari sekencang-kencangnya kearah Cicca dan berusaha menggapainya.
“Akhh….” Teriakku meloncat dan memeluk Cicca. Badanku dan Cicca terhempas kepinggir jalan dengan kencang, kepalaku terbentur trotoar dan mengeluarkan darah. Aku masih sempat melihat Cicca dipelukanku, ia tidak apa-apa. Kami ternyata berhasil menghindari truk itu walaupun kini pandanganku mulai kabur dan aku pingsan.
Saat sudah berhasil membuka mata, ternyata aku sudah berada di rumah sakit.
“Cicca..Cicca….” hanya Cicca yang aku ingin temui sekarang.
Seorang suster muncul dan mengatakan padaku bahwa anak kecil yang aku pegang tadi sedang tertidur di ruangan yang sudah disediakan rumah sakit. Aku mengatakan ingin bertemu dengannya. Akhirnya suster itu membangunkan Cicca dan mengajaknya ke kamarku.
“Cicca kamu tidak apa-apakan Nak?”
Tiba-tiba saja ia berlari kearahku dan memelukku.
“Papa, papa,”
Air mataku tiba-tiba keluar, aku senang mendengar ia mengucapkan kata-kata itu.
“Iya sayang ini papa,”
Tiba-tiba saja pintu rumah sakit terbuka, nyonya kaya itu muncul bersama beberapa polisi.
“Oca, kemari sayang, jauhi orang itu,”
Tapi Cicca hanya terdiam dan tidak mau memandang kearahnya.
“Sayang, sini sama mama,”
“Maaf pak, anda harus ikut kami atas kasus penculikan,”
“Tidak aku tidak menculik siapapun, dia adalah anakku Cicca yang hilang setahun yang lalu, aku bisa menuntut nyonya ini karena mengambil anak yang bukan anaknya,”
“Apa maksudmu, dia bukan anakmu dia anakku,”
Aku mengancamnya untuk melakukan tes DNA, akhirnya wajahnya terlihat pucat dan aku diajaknya berbicara berdua tanpa polisi.
Nyonya itu mengakui menemukan Cicca di jalan menangis dengan  seseorang yang menyuruhnya membawa plastik untuk minta-minta di jalan. Ia mengatakan iba melihat Cicca dan merasa bahwa ia pasti bukan anak pengemis, lalu secara diam-diam membawanya dan karena ia tidak mempunyai anak ia pun merawat Cicca seperti anaknya. Aku tak bisa menyalahkan nyonya itu sepenuhnya, lalu kamipun berdamai, aku membiarkan dia merawat Cicca dan dengan persyaratan aku bisa menjenguknya kapanpun. Mungkin itu akan lebih baik demi masa depan Cicca. Aku akan mengumpulkan uang, jika uangku sudah banyak aku akan membawa Cicca, dan membesarkannya dengan tanganku sendiri.  Yang aku syukuri akhirnya Cicca bisa mengingatku kembali, Terima kasih Ya Allah.

                                                                ******end******


Comments

Popular posts from this blog

Fungsi Google Images untuk Mencari Sumber Gambar atau Foto

Bahasa persia, persian language Part 2

Review Running Man episode 384