a sad song about Jen


Aku masih terduduk di atap sebuah gedung yang berlantai sepuluh, memandangi sibuknya kota besar. Tapi kini hampir senja, tak terasa sudah dua jam aku berdiri disini. Hanya melamun dan merenungi kejadian yang beberapa minggu lalu terjadi. Dan yang aku kenang kini adalah tentang Jennifer atau aku biasa memanggilnya Jen.
Jen adalah sahabatku di SMA, kami sangat dekat sehingga orang-orang selalu mengatakan kami berpacaran walaupun sebenarnya tidak. Saat aku sekelas dengannya di kelas 2 SMA aku menemukan seseorang yang pantas aku panggil sahabat. Jen seorang yang sangat periang, lucu, dan gampang marah namun kemudian akan reda sendiri amarahnya. Saat aku latihan band dengan beberapa temanku, Jen pun asyik mendengarkan lagu-lagu kami, dan kadang komentarnya terdengar sadis.
“Lagu apa sih tuh, jelek banget. Pasti yang nyiptain si Tian ya, Lo kan Yan?”
“Eh ngomong tuh yang bener ya, dasar pendengar anarkis,” kataku sambil menarik rambutnya. Omongannya yang ceplas-ceplos terkadang juga membuat kami memperbaiki lagu-lagu kami. Tapi terkadang kalau dia lagi kumat usilnya, semua lagu yang kami nyanyiin dihina-hina, dan sangat sukarela aku mengeluarkannya dari ruang latihan dengan memaksa. Namun beberapa jam kemudian dia datang dan membawa sejumlah makanan, dengan senyum-senyum kami menerimanya dengan tangan terbuka.
Jen suka sekali menyanyi, dengan suaranya yang pas-pasan, yah ini memang kenyataan aku jujur mengatakannya. Aku sayang dengan Jen sebagai sahabatku, dia memang teman yang selalu ada dan yang selalu membuatku naik darah. Teman-temanku juga menyukai Jen karena dia gadis yang ramah dan kadang usil, Jen memiliki darah campuran belanda, dari ayah kakeknya, walaupun jauh tapi kulit putih dan hidung mancung masih menurun kepadanya.
Aku sudah 5 tahun bermain musik, namun hampir delapan kali aku berganti-ganti grup band, karena pecah atau tidak cocok lagi, dan yang terakhir saat SMA ini untung saja bandku sudah berjalan hampir setahun, namun bukan hal yang mudah menciptakan lagu dan memiliki banyak penggemar terhadap lagu itu. Memang kami sudah beberapa kali rekaman dan menyebarkan lagu-lagu kami di radio, untungnya lagu kami dapat diterima, namun tidak terlalu menghebohkan. Aku ingin sekali menciptakan lagu yang membuat semua orang tersentuh paling tidak banyak yang menyukainya.
Lalu kehidupanku mulai berubah semenjak kedatangan Geisha anak baru di kelas 3 IPA, anak yang manis, berambut panjang dan sangat lemah lembut, dia juga pintar, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Lalu aku mulai mendekatinya, aku memberanikan diri mengajak berkenalan terlebih dahulu. Ternyata pesaingku banyak juga ada 2 orang dari kelas IPA dan 1 orang dari IPS, tapi aku gak mau menyerah dulu. Semua cara ku coba untuk mendekati Geisha.
“Jen, come here.” Teriakku.
“Kenapa, Tian Jelek?”
“Eh gue ganteng tau, Lo aja yang gak pernah nyadar,” kataku sambil menjitak kepalanya.
“Aduh, orang buta tau yang bilang lo ganteng,” Katanya sambil mencubit pinggangku.
Duh belum apa-apa jadi kami berdua yang bertengkar, akhirnya aku mengalah.
“Jen, bantuin gue deket dong sama Geisha,” kataku sambil memohon dan mengeluarkan jurus gerakan memelas.
Ekspresi yang ditimbulkan Jen membuatku agak sedikit aneh, ia hanya menatapku dengan diam dan alisnya berkerut, dan sorot matanya tajam. Namun beberapa detik kemudian dia tersenyum dan merangkul bahuku.
“Oke, oke, tapi kita jadiin ini bisnis ya?”
Hmm dan perasaanku mengatakan akan terjadi pemerasan sebentar lagi.
Setelah perundingan yang cukup agak lama, akhirnya kami sepakat pada sebuah perjanjian, jika aku jadian sama Geisha aku harus menjadi pembantu Jen selama 6 bulan. Dengan berat hati aku menerimanya karena Jen adalah satu-satunya cewek yang dekat denganku dan hanya dari dia aku bisa mendapatkan saran untuk menakhlukkan hati Geisha.
Dia menyuruhku datang ke rumah Geisha jam 7 malam dan memberikannya bunga, saran Jen pun aku ikuti dengan mengumpulkan segenap keberanianku. Tapi saat aku tiba disana, aku melihat Rico anak IPA yang menjadi sainganku ngobrol dengan Geisha di halaman depan rumahnya. Aku pulang dengan sedih ke rumah Jen, Jen asyik mebaca komik saat aku ke kamarnya.
“JEN!” teriakku sambil menarik tangannya dan memeluknya.
“Lah Kenapa Lo Yan?” katanya kaget.
“Pas gue datang ke rumah Geisha, eh si Rico ramuan itu udah duluan datang dan ngobrol mesra ama Geisha,”
“Rico ramuan?”
“Iya anak IPA kan suka bikin ramuan kayak professor-profesor,”
Dia lalu menyuruhku duduk dan ia pun duduk disebelahku dan mengusap-ngusap kepalaku.
“Yah gak apa-apa, Lo usaha lagi, yang penting kan Geisha belum jadian sama siapa-siapa,”
“Lah kalau malam ini dia malah jadian ama si ramuan itu?”
“Yah kita liat aja besok,”
Aku yang sedih dan patah hati menyandarkan kepalaku dibahunya. Saat aku sudah agak baikan, aku segera menarik kepalaku dibahunya.
“Jen, kok gue kayak cewek sih jadinya malahan yang nyender dibahu Lo, seharusnya kan elo yang cewek nyender dibahu gue,”
“Yang sedih kan Elu bego, masa gue yang nyender dibahu Lo,” katanya sambil melempar bantal kursi kemukaku, dan kena telak dengan tak terhindarkan. Dan malam itu kami habiskan dengan saling melempar bantal.
Menurut berita yang baru kudengar pagi ini, ternyata Geisha masih jomblo alias single, dan berita yang bagus buatku. Hari ini aku mulai pendekatan lagi, ternyata Geisha memberikan tanggapan positif, dan akhirnya aku mulai date pertama dengan mengajak Geisha nonton film. Beberapa hari ini kami semakin dekat, aku berencana akan menembak alias mengatakan cintaku padanya tepat dimalam minggu akhir bulan desember. Aku berencana akan menghabiskan malam tahun baru dengan berkeliling di jalan-jalan kota dengannya. Karena sibuk dengan Geisha, aku lupa dengan Jen. Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya.
“JEN,” panggilku saat melihat dia keluar dari toilet.
Saat dia melihatku, dia hanya terus berjalan dan acuh padaku.
“Jen..” panggilku lagi sambil memegang tangannya.
“Apa? Masih inget punya sahabat gue,”
“Ya ampun Jen, maafin gue. Gue banyak janji nih sama Geisha, tenang aja gue pasti nepatin janji sesuai perjanjian kita kalau gue jadian ama dia,”
Jen hanya diam, dan memandang kearah lain. Butuh satu jam aku melunakkan hatinya lagi dan membuatnya tidak marah. Dan setelah ia tidak marah lagi aku mulai bercerita mengenai kedekatanku dan rencanaku menembak Geisha malam minggu depan. Dia mendengarku walaupun dengan tampang cuek, aku tahu dia mendengarkan walaupun dengan acuh, namun aku tetap harus berbagi kebahagianku dengannya, dan akhirnya dia meninggalkanku tiba-tiba.
“Jen, Jen, mau kemana?”
“Mau boker, kekenyangan dengar cerita Loe,”
Saat malam minggu yang aku tunggu tiba, aku memberanikan diri menyatakan perasaanku. Dengan rasa yang tak terucapkan aku melambung tinggi karena Geisha menerima cintaku. Lalu aku segera mengirimkan pesan sms ke Jen, namun tak ada balasan. Saat aku sudah sampai di rumah, aku mencoba menghubunginy, tetap tidak ada jawaban.
Aku khawatir dengannya, paginya aku memutuskan ke rumah Jen. Mamanya menyuruhku masuk langsung ke kamarnya, dan aku lihat Jen, masih tidur. Aku membangunkannya dengan melemparkan bantal, ia kaget bukan main. Kembali aku yang kaget saat melihat mata Jen yang terlihat bengkak dan merah.
“Jen mata Lo kenapa?”
Ia lalu bangun dan berlari melihat ke kaca.
“Ya ampun mata gue jelek banget,”
“Jen, Lo nangis ya semalem,” kataku berdiri dibelakangnya.
“Lo keluar sekarang, pulang sana pulang. Jangan kesini kecuali gue yang suruh,” dia mendorongku dengan kasar keluar dari kamarnya lalu membanting pintu, aku benar-benar kaget atas perlakuan Jen yang tidak biasanya seperti itu. Apa dia lagi sedih? atau patah hati? tapi dia gak pernah cerita ada cowok yang dia dekati.
“Jen, buka! Lo kenapa? Cerita ama gue, ada yang ngejahatin elu ya, biar gue kasih pelajaran Jen,” kataku sambil mengetuk pintu kamarnya.
Tiba-tiba sebuah bunyi keras terdengar dari balik pintu, dan aku harus segera pergi karena tandanya Jen benar-benar tidak mau diganggu. Seminggu setelah kejadian itu Jen tidak pernah masuk sekolah lagi. Aku selalu datang setiap hari ke rumahnya, namun mamanya selalu mengatakan Jen tidak mau bertemu denganku. Aku ada salah apa dengannya, aku benar-benar tidak mengerti, aku sangat khawatir dengan Jen, semua telepon dan sms ku tak pernah di jawab.
Saat itu aku harus memaksanya berbicara, aku mengirimkan sebuah sms, pasti dia akan membacanya walau tak akan di balas, aku mengatakan padanya akan menunggunya di gedung berlantai 10 yang selalu kami jadikan tempat untuk menyendiri dari dunia, aku mengancamnya akan loncat jika ia tidak datang dalam waktu sejam. Hampir sejam namun batang hidung Jen tidak kelihatan, aku mulai sedih, ada apa dengan Jen. Aku duduk dipinggir gedung, sangat mengerikan sekali melihat kebawah, pasti kalau jatuh aku akan mati dengan tubuh yang hancur.  Aku pun bergidik ngeri membayangkan hal itu.
Tiba-tiba saja seseorang menarik bajuku dengan kuat dan aku terjatuh kebawah dan mengaduh kesakitan.
“Lo gila ya? Mau mati? Udah banyak pahala Lo yakin masuk surga kalau mati,”
Itu adalah suara yang aku kenali, dia Jennifer, sahabatku.
“Jen, Lo kasar banget sih. Akhirnya Lo dateng juga, gue kering nunggu Lo disini,”
Dia hanya diam, dan memandangiku dengan tatapan sedih.
“Jen, Lo kenapa? cerita sama gue. Gue juga sakit kalau elu sakit Jen, gue khawatir sama elu,”
Tiba-tiba air mata Jen keluar, sungguh benar-benar mengagetkanku.
“Jen, Lo kenapa? Maafin gue kalau gue ada salah, jangan nangis Jen.” Aku menghapus airmatanya.
“Jangan sentuh gue Tian,”
“Jen..” kataku lirih, kenapa dengan Jen.
“Lo buta ya, Lo gak punya mata, Lo gak tau gue kenapa?”
Aku makin bingung dengan kata-katanya.
“Selama ini gue coba tahan semuanya, ternyata gue gak bisa Yan, gue gak kuat nahan sakit ini lagi,”
“Sakit apa Jen, Lo kenapa?”
“Gue cinta sama Elo Tian..”
Kata-kata Jen bagaikan sambaran petir bagiku.
“Jen, kita ini sahabat,”
“Terus kenapa Yan kalau kita sahabat, gue gak boleh cinta ama Lo gitu.  Gue gak minta rasa cinta ini Yan, dia datang sendiri. Gue udah tahan-tahan mencoba gak mencintai lo, karena ternyata lo mencintai cewek lain. Tapi gue gak bisa Yan, gue gak sekuat yang gue pikir, hati gue sakit, sakitnya hanya gue yang rasa dan itu menyiksa gue,”
Mendengar kata-katanya membuat hatiku hancur juga, aku mendekat padanya dan memeluknya, ia kembali menangis. Aku mulai merasakan sakit yang Jen rasakan, aku ingin memeluknya dengan erat, aku takut dia hancur berkeping-keping karena perasaanya. Tapi seolah-olah tanganku tak mampu mencapainya, ia menjauh.
“Maafin gue Jen, gue gak tau kalau selama ini yang gue lakuin nyakitin elo. Maafin gue, gue sayang sama elo, tapi sayang gue hanya sebatas sahabat bukan mencintai Jen,”
 Ia melepaskan pelukanku dan menamparku dengan keras.
“Pukul gue lagi Jen jika itu membuat lo lebih baik, gue sendiri gak tau gimana harus nyembuhin sakitnya hati elu.”
“Denger ya Yan, gue bunuh elu pun, Hati gue gak akan pernah sembuh. Gue terluka Yan, gue gak bisa ngomong apa-apa lagi”
“Jen…” aku tak tau lagi harus mengatakan apa, aku melihat kedalam matanya, semua terpancarkan dari matanya, kesedihan dan sakit yang ia rasakan. Kali ini sifat periangnya benar-benar hilang dari wajahnya. Yang berdiri di depanku hanyalah Jen yang rapuh, sedih, keadaan ini bukan kami yang minta, tapi kenapa harus terjadi.
“Gue mau tanya satu pertanyaan, apa pernah Lo melihat gue bukan sebagai sahabat, tapi seorang cewek yang butuh dicintai dan Lo juga merasakan cinta itu?”
Pertanyaan yang dilontarkan Jennifer membuatku terdiam, apa yang harus aku jawab.
“Oke gue udah tau jawabannya, gue pergi sekarang,” ia berbalik dan berjalan pergi..
“Jen…” teriakku mengejarnya tapi ia berlari sehingga aku sulit untuk menemukannya.
Keesokannya di sekolah, aku berangkat tanpa semangat mengingat kejadian yang kemarin terjadi. Saat di kelas aku melihat Jen duduk di kursiku.
“Jen,” kataku tak percaya melihat dia ada di tempat itu.
“Eh Tian, kok kamu tumben datangnya pagi sih,” sifatnya seolah-olah telah kembali seperti semula, seperti tak pernah terjadi apa-apa dengan kami. Selama beberapa hari sifatnya kembali seperti dulu, cerewet, usil, dan lucu. Tapi matanya tak bisa membohongiku, aku melihat semua itu, ia hanya berpura-pura. Saat aku sudah berdua dengannya aku mencoba berbicara dengannya.
“Jen, cukup! Jangan bohongi diri Lo lagi, Lo akan semakin terluka nantinya. Gue gak kuat ngelihatnya Jen,”
“Apaan sih Yan, gue gak kenapa-kenapa kok. Udah dulu ya gue mau ke kantin,”
Dia menghindar lagi saat aku memulai pembicaraan itu. Saat tiba di rumah aku terus memikirkan Jen, sampai HP ku terdengar berdering.
“Ya halo, Tian disini,”
Telepon yang baru saja aku terima ternyata dari orang tuanya Jennifer, yang mengatakan Jen kecelakaan. Aku lalu berlari mengambil kunci motorku dan segera pergi ke rumah sakit. Sesampai disana hanyalah kabar duka yang aku dengar, Jen tak terselamatkan, mobil yang ia kendarai menabrak pagar pembatas jalan, dan akhirnya masuk kedalam lubang parit. Untuk terakhir kalinya kini aku melihat Jen dalam keadaan yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, aku memeluknya untuk terakhir kalinya.
“Jen..” panggilku disela tangisku. Kamu tega ninggalin aku Jen, kamu adalah orang terdekat aku Jen, kenapa, kenapa kamu pergi Jen. Ini aku Tian, bangun Jen. Aku hanya memanggilnya dalam hati. Keesokannya aku menghadiri pemakaman Jen, sempat terpikir untuk tak datang, aku tak rela melepas Jen. Tapi dia sahabatku yang paling aku sayang, sudah terbayang betapa kesepiannya aku di hari-hari selanjutnya.
Ternyata saat mengendarai mobil Jen bersama Dina teman sekelasnya, untung Dina masih selamat walaupun dengan luka yg cukup parah. Kata-kata Dina membuatku sadar akan sesuatu.
“Itu bukan kecelakaan, Jen sengaja menabrakkan dirinya, sebelum kecelakaan itu terjadi ia meminta maaf padaku berulang kali, aku sebenarnya tidak mengerti dengan pembicaraan yang dia katakan. Namun kini aku sadar Jen sengaja menabrakkan dirinya, ia tidak menggunakan seatbelt, dan menyuruhku untuk melindungi diri. Sebelum kejadian itu dia juga menitipkan sebuah surat untukmu.”
Dengan segera surat itu aku baca.
Dear Tian,
Yang kamu bilang bener Yan, aku bukan artis yang bagus bisa membohongi kamu. Aku juga berusaha mengembalikan kita seperti semula, aku takut kehilangan kamu, aku gak mau kamu menjauh dari aku. Ternyata aku gak bisa pilihan yang ada tetap membuatku sakit, antara menjauhimu atau tetap bersamamu. Lebih baik aku buat tubuhku tak pernah merasakan itu lagi, walaupun aku tau kamu akan sakit, maafin aku. Tapi sampai akhir hidupku aku tetap mencintai kamu. Satu permintaan terakhirku, buatkanlah satu lagu untukku, karena aku menyukai semua lagu-lagu kamu..
                                                              Jen
Jennifer bodoh, apa yang dia lakukan, kini aku yang hancur Jen. Ini semua salahku, kenapa harus begini Jen. Semenjak kepergian Jen, ada yang hilang didalam diriku, sebagian jiwaku seolah pergi meninggalkanku, apakah benar aku mencintai Jen namun aku tak menyadarinya. Kehilangan Jen membuatku sangat sakit, Jen jawaban atas pertanyaan terakhirmu kini bisa aku jawab, Ya Jen aku pernah mencintaimu. Sambil masih terduduk dipinggir atap gedung, aku memegang gitar dan memainkan sebuah lagu, ‘a sad song about Jen
                                                        

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi Google Images untuk Mencari Sumber Gambar atau Foto

Bahasa persia, persian language Part 2

Review Running Man episode 384